ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Tips N Trik

Wisata Indonesia

Assalamu alaikum wr. wb.

This Is Mind - Kalau ada pertanyaan siapa yang lebih cerdas, Einsten atau Mozart?, Kamu bakal jawab apa?. Jika jawabanmu adalah Einsten, maka kamu termasuk mayoritas yang percaya terhadap definisi sempit dan parsial dari istilah ‘cerdas’. Nah, lho, kok bisa ? Pernah dibilang gak pintar karena gak bisa nyelesein soal matematika? Nah, ini dia! Jadi nih ya sob, definisi cerdas yang berkembang dalam masyarakat itu biasanya gak jauh-jauh dari kemampuan matematika dan berbahasa. Sementara bakat seperti atletik, musik, dan seni tidak pernah sejajar dengan mereka yang memiliki kemampuan intelektual.

Menanggapi hal ini, Profesor dari Harvard, Howard Gardner menganggap pandangan inin tidak sehar secara ilmiah dengan ‘konsekuensi sosial yang serius merusak’. Ia percaya bahwa semua bakat sama penting dan signifikan bagian dari kecerdasan.

Dalam teori Multiple Intelligences(MI), Gardner berpendapat bahwa jenius memiliki bentuk yang berbeda, dan bahwa semua bentuk tersebut dimiliki oleh semua individu di berbagai level. Jenius tersebut tumbuh dengan bentuk interaksi yang berbeda satu sama lain, yang seharusnya membentuk Intelligence Quotient (IQ) seseorang- diamana ukuran kecerdasan seseorang dihitung.

Gampangnya nih sob, kamu mungkin sangat pandai dengan angka, sementara yang lain mungkin pandai dengan gambar, dan yang lainnya lagi cerdas dalam interaksi sosial. Teori MI ini mengakui bahwa setiap individu dapat menjadi cerdas dalam delapan cara yang berbeda.

Dalam setiap pendidikan, anak yang memiliki kecerdasan linguistik dan matematis biasanya lebih di unggulkan daripada yang tidak. Sementara anak-anak yang gagal dalam kedua akan diberi label memiliki ketidakmampuan belajar, hiperaktif, menderita ADD(Attention Deficit Disorder), atau ditempatkan di bawah kategori lain yang menandai mereaka sebagai kurang berprestasi.  Padahal seharusnya tidak begitu.

Betul, mereka kurang beruntung karena tidak bisa menguasai kedua bidang tersebut. Tetapi, mereka adlah korban dari budaya dan lingkungansosial sekitar mereka. Sementara , masyarakat kita hobinya menilai kecerdasan anak-anak hanya berdasarkan aspek budaya dan stereotip saja. Kalau sianak gak bisa ini-itu, maka di cap gak pintar. Padahal, banyak tuh orang yang gagal di pendidikan formal tapi karirnya sukses.

Kalau mengikuti apa omongan orang, bisa jadi kita gak akan pernah bisa sukses lho Sob. Bisa jadi kita berpura-pura paham terhadap satu bidang hanya menyenangkan orangtua misalnya. Padahal sebenarnya, bakat dan minat kita itu gak sejalan dengan orangtua kita. Gak heran kalau banyak pekerja professional yang lantas tidak puas dengan karirnya. Karena mungkin dari awal mereka sudah slah pilih bidang. Menurut Mahatma Gandhi, “Kebahagiaan adalah ketika apa yang anda pikirkan, apa yang anda katakan, dan apa yang anda lakukan berada dalam harmoni.” Nah, memaksa seseorang untuk belajar atau berpikir dengan cara yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat mengakibatkan munculnya kepribadian tidak percaya diri dari orang tersebut yang kemudian diikuti dengan stres, tidak bahagia, dan hidup yang tidak seimbang.

Teori MI memiliki implikasi besar dalam bidang pendidikan dan perkembangan anak. Mengetahui bahwa anak-anak dapat belajar dengan berbagai cara yang berbeda dapat membantu pendidik untuk menysun kegiatan pembelajaran yang paling menarik, yang memungkinkan siswa mengerti lebih baik. Orangtua yang emahami teori MI inin bisa mencoba untuk menumbuhkan kecerdasa yang dominan dari anak-anak mereka, dan mendorong anak-anak untuk mengekspresikan diri dalam cara yang paling sesuai dengan cara berpikir mereka.

Kalau ditempat kerja, teori MI ini dapat membantu seorang HRD atau manager untuk menciptakan tempat kerja yang lebih produktif, beragam, kreatif, dan selaras. Kesemuanya itu bisa mewujudkan sebuah struktur organisasi yang stabil dan sukses.

Kecerdasan seseorang bukan hanya produk sampingan dari gen-gennya lho Sob. Gen memang berperan dalam menentukan tingkat kecerdasan seseorang, tapi faktor budaya dan lingkungan sosial juga sangat memberikan kontribusi untuk membentuk cara berpikir dan belajar seseorang.

Idealnya nih, budaya itu harus menganggap semua jenis kecerdasan sama berharganya. Setelah menemukan kecerdasan yang disukai anak-anak, orangtua dan guru dapat meningkatkan dan memperkuat kecerdasan mereka melalui serangkaian aktifitas yang beragam. Ketika seseorang memahami keunikan kecerdasan dan mengembangkannya, ia dapat mencari karir yang menekankan pada bakat dan kecerdasannya tersebut, dan dia akan unggul. Jadi bisa disimpulkan kalau: semua orang itu pintar, tapi dengan cara masing-masing. Wallahu’alam.

 Oleh : Diyah Kusumawardhani


Semoga Bermanfaat Happy Blogging :) Salam Admin

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment

Berkomentarlah yang sopan.
Dilarang komentar profokasi, Rasis, SARA, dan berbau Pornografi.
Dilarang berkomentar link aktif.

-Maaf bagi komentarnya yang saya hapus karena tidak sesuai dengan aturan diatas-


Top